Di Jendela-Jendela yang Menghampiri Pikiranku
Apa yang pertama kali Mieko Kawakami pikirkan saat menulis tentang jendela di pembuka novelnya, Breasts and Eggs?
Seringkali, saya ingin menulis sesuatu yang senada dengan semua itu, akan tapi saya merasa belum pernah menemukan kalimat atau pesan yang tepat.
Meski keseluruhan isi novel tidak membahas jendela, tapi pembuka dalam novelnya membuat saya memikirkan jendela-jendela yang ingin saya tulis.
Beberapa penulis di luar sana, jelas telah melakukannya dan boleh dibilang mereka menggarapnya dengan baik.
Sejak pandemi, saya kemudian semakin menyadari jika saya termasuk orang yang akan baik-baik saja bila harus hidup di dalam ruangan dan terbatas dengan interaksi-interaksi manusia. Di saat yang bersamaan, saya kemudian juga mulai menyadari jika saya senang memelihara tanaman.
Masa pandemi saya habiskan di sebuah rumah yang memiliki halaman kecil. Mulai dari halaman kecil itulah, saya tergerak untuk menanam beberapa jenis tanaman.
Di sudut halaman itu, ada bagian yang ditimbun dengan kerikil, saya kemudian menghilangkan kerikil itu dan menggantinya dengan rumput gajah. Saya juga memesan bibit avocad dan menanamnya di sudut halaman, dekat dari teras, saya menyimpan beberapa pot dan mengisinya dengan tanaman hias. Kebetulan, waktu itu ada teman yang juga memulai bisnis tanaman hias. Saya semakin mudah jika ingin memesan atau menemukan tanaman hias tertentu. Saya juga bisa bertanya atau konsultasi terkait cara perawatannya. Saya menikmati masa-masa itu dengan merawat tanaman-tanaman itu. Sayangnya, karena rumah itu dihuni oleh keluarga lain, halaman itu dirombak dan semua yang saya upayakan waktu itu, kini hanya sebatas tulisan separagraf ini.
Sebuah paragraf yang kutulis dengan sisa-sisa ingatan yang rasanya kurang menyenangkan, bisa jadi adalah sebuah jendela di realitas yang saya ciptakan sendiri. Sesuatu yang menjadi titik pijak dan melihatnya dari jarak yang telah saya tentukan sendiri.
Pandemi memaksa saya untuk belajar banyak hal, bahwa perubahan bisa begitu terjadi dengan cepat. Betapa pun saya berusaha untuk melakukan antisipasi, betapa pun saya mencoba berkeras untuk berjuang dan mencoba segala cara, ada hal-hal yang pada akhirnya membuat saya merasa masuk ke dalam mitos Sisifus. Barangkali karena situasi-situasi seperti itu juga, saya belajar untuk tidak memaksakan hal-hal tertentu pada diri saya sendiri.
Saya akhirnya banyak melihat diri saya sendiri dengan membayangkan diri saya yang lain. Mungkin seperti seseorang yang berdiri di hadapan jendela yang mengamati orang lain di luar sana. Karena ini, saya pun menulis beberapa puisi tentang jendela di masa-masa tertentu, beberapa selesai dan beberapa gagal atau belum selesai.
Setelah semua yang berlalu dan situasi yang sulit ditebak, saya kadang membayangkan, cukup bisa duduk tenang di hadapan jendela sembari memandang keluar, mengamati halaman hijau yang lapang atau melihat tanaman hias yang tumbuh subur. Atau melihat pemandangan yang dimunculkan René Magritte dilukisannya yang berjudul “The Human Condition” (1933).
Satu jendela mungkin akan membawa saya pada pertanyaan-pertanyaan lain, sesuatu yang bisa membantu saya memaknai apa yang telah dan akan saya lakukan.
Berapa jendela yang kalian punya?
Post a Comment: